SENJATA DI PERANTAUAN

         foto Handri Nule
         Penulis Fredy Suni

Langit sore kota metropolitan Jakarta mengoda ribuan anak rantau untuk bernostalgia.

Maklum saja, sebagai perantau, tentu saja ada rindu akan kehangatan di tengah keluarga.

Namun, apa boleh buat. Lantaran, perantau saat ini terjebak dengan jarak.

Jarak memang memisahkan perantau dengan sanak familinya. Namun, ada jaringan nirkabel dasar laut, yakni kabel internet yang berhasil memangkas rindu itu.

Di mana, usai pulang dari tempat kerja, ada secangkir kopi hangat. Lalu, perantau pun mulai mengabarin orang tua mereka di ujung seberang.

Saat terjadi komunikasi lintas jaringan internet, jarak tidak menjadi sesuatu yang menakutkan lagi bagi para perantau.

Perantau pun menikmati ritme malam kota metropolitan.

Apalagi ada instrumen Timor membuat suasana ingin pulang.

Namun, perantau masih punya mimpi akan masa depannya.


Walau senja sudah tidak kelihatan lagi. Namun, masih ada serpihan rasa rindu.

Rindu adalah obat terlaris para perantau akan kampung halaman.

Lalu, muncullah kegelisahan dalam diri perantau untuk berfilsafat.

Ya, berfilsafat tentang rindu. 

Gelora rindu terus termakan oleh gemerlapnya kota metropolitan Jakarta.


Sejauh mata memandang, segalanya tampak menakjubkan.


Sobatku, meski rindu akan kehangatan kekuarga. Tetapi, jangan sampai rindu itu membatalkan mimpi-mimpi kalian ya.


Karena bagaimana pun kita harus bermimpi.


Seperti yang Bapak Proklamator RI, Soekarno ajarkan.

Beliau pernah mengatakan bermimpilah setinggi langit. Jika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang.


Sekian dari coretanku pada senja hari ini sobatku.

Komentar

Postingan Populer